Dewi Sartika
Dewi Sartika memiliki silsilah keluarga yang cukup terpandang, ia lahir dari pasangan R. Rangga Somanegara dan R. A. Rajapermas. Ayahnya merupakan seorang pejuang kemerdekaan hingga akhir hayatnya. Setelah kepergian sang ayah, Dewi Sartika tinggal bersama dengan pamannya. Sejak kecil Dewi Sartika sudah menunjukkan bakatnya di dunia pendidikan, seperti menjadi peran guru bersama temannya pada masa kecil ketika menginjak usia 10 tahun, masyarakat di Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca tulis dan beberapa pepatah dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan.
Pada tahun 1904, Dewi Sartika membuat Sekolah Isteri di Pendopo Kabupaten Bandung. Sekolah tersebut kemudian direlokasi ke Jalan Ciguriang dan berubah nama menjadi Sekolah Kaoetamaan Isteri tahun 1910. Awal mula didirikannya Sekolah Isteri hanya memiliki dua kelas saja. Sehingga tidak dapat menampung semua aktivitas sekolah. Hingga pada tahun 1912, sudah ada sembilan sekolah yang tersebar di seluruh Jawa Barat dan terus berkembang menjadi satu sekolah tiap kota maupun kabupaten pada tahun 1920. Meskipun sekolah tersebut berkembang pesat, namun saat Jepang datang ke Indonesia untuk menjajah, sekolah tersebut akhirnya mengalami krisis peralatan serta keuangan.
Hingga akhir hayatnya, Dewi Sartika melakukan perjuangan untuk bangsa melalui jalur pendidikan, tidak seperti pahlawan yang lain. Meskipun cara perjuangan Dewi Sartika seperti itu, ia patut disebut sebagai seorang pahlawan. Beliau berjuang dengan tulus dan gigih untuk memajukan pendidikan kaum wanita di zamannya. Setelah semua yang dilakukan, Dewi Sartika menghembuskan nafas terakhirnya pada 11 September 1947 di kota Tasikmalaya.