Wayang Topeng Malangan
Di Buku Henri Supriyanto, dituliskan Wayang Topeng Malangan mengikuti pola berfikir India, karena sastra yang dominan adalah sastra India. Jadi cerita Dewata, cerita pertapaan, kesaktian, kahyangan, lalu kematian itu menjadi muksa. Sehingga sebutan-sebutannya menjadi Bhatara Agung. Jadi itu peninggalan leluhur kita, sewaktu leluhur kita masih menganut agama Hindu Jawa, yang orientasinya masih India murni. Termasuk wayang topeng juga mengambil cerita-cerita dari India, seperti kisah Mahabarata dan Ramayana
Dari keterangan diatas bisa diperkuat oleh Almarhum Karimun Bahwa "Kesenian Topeng tidak diperuntukkan untuk acara kesenian seperti sekarang ini. Topeng waktu itu yang terbuat dari batu adalah bagian dari acara persembahyangan. Barulah pada masa Raja Erlangga, topeng dikonstruksi menjadi kesenian tari. Topeng digunakan menari waktu itu untuk mendukung fleksibilitas si penari. Sebab waktu itu sulit untuk mendapatkan riasan (make up), untuk mempermudah riasan, maka para penari tinggal mengenakan topeng di mukanya".
Saat kekuasaan Kertanegara di Singasari, wayang topeng ceritanya digantikan dengan cerita-cerita Panji. Hal ini dapat dipahami ketika Kertanegara waktu itu menginginkan Singasari menjadi kekuasaan yang sangat besar di tanah Jawa. Panji yang didalamnya mengisahkan kepahlawanan dan kebesaran kesatria-kesatria Jawa, terutama masa Jenggala dan Kediri.